Dua Mantan Pejabat BPN Sumatera Utara Resmi Ditahan, Diduga Terlibat Korupsi dalam Pelepasan Aset PTPN I untuk Proyek Perumahan Citraland

banner 120x600

MEDAN, 15 Oktober 2025 – RESKRIMPOLDA.NEWS

Tim Penyidik pada Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) kembali menindak tegas dugaan penyimpangan dalam pengelolaan aset negara. Pada Selasa, 14 Oktober 2025, penyidik resmi menetapkan dan melakukan penahanan terhadap dua mantan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait pelepasan aset milik PTPN I Regional I yang digunakan dalam proyek pengembangan kawasan perumahan Citraland.

Kedua tersangka yang kini ditahan masing-masing berinisial:

  1. ASK, selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Utara periode 2022–2024; dan
  2. ARL, selaku Kepala Kantor BPN Kabupaten Deli Serdang periode 2023–2025.

Penahanan terhadap para tersangka dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejati Sumut masing-masing bernomor:

  • PRINT-21/L.2/Fd.2/10/2025 tertanggal 14 Oktober 2025 untuk tersangka ASK, dan
  • PRINT-22/L.2/Fd.2/10/2025 tertanggal 14 Oktober 2025 untuk tersangka ARL.

Keduanya dititipkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I A Tanjung Gusta Medan selama 20 (dua puluh) hari pertama, terhitung sejak tanggal 14 Oktober 2025. Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, Husairi, yang menyampaikan bahwa penahanan dilakukan guna memperlancar proses penyidikan serta mencegah potensi penghilangan barang bukti.

Modus Dugaan Penyimpangan: Penerbitan Sertifikat Tanpa Pemenuhan Kewajiban HGU

Berdasarkan hasil penyidikan yang telah dikumpulkan, para tersangka diduga menyalahgunakan kewenangan jabatannya selama periode tahun 2022 hingga 2024 dengan memberikan persetujuan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Nusa Dua Propertindo (PT NDP) tanpa terlebih dahulu memastikan terpenuhinya kewajiban perusahaan tersebut untuk menyerahkan minimal 20 persen dari total lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang diubah menjadi HGB kepada negara, sebagaimana ketentuan dalam revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Lahan tersebut diketahui merupakan bagian dari aset PTPN I seluas 8.077 hektare yang dialihkan melalui Kerja Sama Operasional (KSO) antara PT Nusa Dua Propertindo (NDP) dan PT Ciputra Land (CL). Namun, dalam praktiknya, kewajiban perusahaan untuk menyerahkan sebagian lahan kepada negara tidak dilaksanakan, sementara proses pengembangan dan penjualan properti oleh PT Dwi Mitra Karya Realty (DMKR) terus berjalan di atas lahan eks-HGU tersebut.

Akibat tindakan tersebut, aset negara sebesar 20 persen dari total lahan yang telah diubah statusnya menjadi HGB hilang, yang berdampak pada potensi kerugian keuangan negara dalam jumlah signifikan.
Menurut penyidik, produk hukum berupa sertifikat HGB hasil penerbitan tersebut dinilai cacat hukum dan wajib dibatalkan, karena tidak memenuhi persyaratan administratif maupun substansial yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan pertanahan.

Dijerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan alat bukti yang telah dikantongi penyidik serta keterangan para saksi yang diperiksa, kedua tersangka disangkakan melanggar:

Pasal 2 ayat (1) Subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ancaman pidana terhadap pasal tersebut mencakup pidana penjara paling singkat 4 tahun dan maksimal seumur hidup, serta denda hingga Rp1 miliar, disertai kewajiban pengembalian kerugian negara.

Kejaksaan Tegaskan Komitmen Pemberantasan Korupsi Aset Negara

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menegaskan bahwa penegakan hukum atas kasus korupsi yang melibatkan aset negara merupakan prioritas utama, mengingat dampaknya terhadap keuangan negara, tata kelola pertanahan, dan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.

“Kami tidak akan mentolerir penyalahgunaan kewenangan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan aset milik negara. Setiap pejabat publik wajib bertanggung jawab atas keputusan administratif yang menimbulkan kerugian bagi negara,” tegasnya.

Penyidikan terhadap kasus ini masih akan dikembangkan untuk menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak lain, baik dari unsur korporasi maupun pejabat terkait.

[RED]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *