Bekasi, 13 Oktober 2025 – RESKRIMPOLDA.NEWS
Situasi sosial di Desa Pasirsari, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi kini menjadi perhatian serius publik. Kawasan Jalan Inspeksi Kalimalang diduga telah lama menjadi tempat praktik prostitusi terselubung, melibatkan pelaku dari kalangan muda hingga usia dewasa.
Kondisi ini membuat Kelompok Masyarakat Indonesia Intelektual (KEMASIN) melalui DPD Bekasi Raya melontarkan kritik keras terhadap kinerja Pemerintah Kabupaten Bekasi.
KEMASIN menilai, aparat pemerintahan dari tingkat desa, kecamatan, hingga Satpol PP Kabupaten Bekasi telah lalai menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ketua DPD KEMASIN Bekasi Raya, Rey, menilai lemahnya pengawasan dan pembiaran aktivitas asusila di ruang publik merupakan bentuk mandulnya penegakan hukum daerah.
“Perda Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2012 tentang Ketertiban Umum itu sudah sangat jelas. Tapi di lapangan, bangunan liar dan tempat prostitusi masih dibiarkan. Aparatur desa dan kecamatan seolah tidak peduli, Satpol PP tidak menjalankan fungsinya,” tegas Rey.
Menurutnya, sikap abai pemerintah daerah menunjukkan adanya degradasi moral birokrasi dan disfungsi sistem pemerintahan lokal.
“Ketika hukum lokal tidak ditegakkan, perda hanya jadi simbol kosong. Dan itu mencerminkan bobroknya tata kelola pemerintahan daerah,” sambungnya.
Hasil investigasi lapangan yang dilakukan oleh Sopian, tim investigasi KEMASIN, menemukan indikasi kuat adanya warung remang-remang dan aktivitas malam yang mengarah pada prostitusi terselubung di sepanjang Jalan Inspeksi Kalimalang, Desa Pasirsari.
“Kami turun langsung ke lokasi. Pola aktivitasnya sudah jelas: bangunan liar tanpa izin, warung gelap, dan interaksi mencurigakan antara pengunjung dan penghuni. Pemerintah tahu, tapi seolah menutup mata,” ungkap Sopian.
“Kalau aparat paham tapi diam, maka ini bukan sekadar kelalaian, tapi pembiaran sistematis,” tegasnya.
Sopian juga menyebut kondisi tersebut sebagai potret birokrasi yang bobrok dan kehilangan moralitas pelayanan publik.
“Kami sangat miris melihat kondisi Bekasi yang seharusnya jadi kota industri, tapi di sisi lain masih ada ruang gelap prostitusi yang dibiarkan tumbuh di bawah hidung aparat,” ujarnya.
KEMASIN menyebut, praktik prostitusi di kawasan publik tidak hanya menyalahi norma sosial, tetapi juga melanggar ketentuan hukum yang jelas diatur oleh negara dan daerah, antara lain:
- Perda Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2012 tentang Ketertiban Umum.
- Pasal 5 huruf (a), (d), dan (e): Melarang menyediakan tempat atau sarana untuk perbuatan asusila serta penyalahgunaan tempat umum.
- Pasal 7: Menugaskan Satpol PP sebagai aparat pengawasan dan penegakan.
- Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2018
- Mengatur penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sebagai tanggung jawab pemerintah daerah.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
- Pasal 12 ayat (2): Ketertiban umum merupakan urusan wajib pemerintah daerah.
- Pasal 67 huruf (b): Kepala daerah wajib menegakkan peraturan perundang-undangan di wilayahnya.
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
- Melarang segala bentuk eksploitasi seksual yang berpotensi melibatkan perdagangan manusia.
Menurut Rey, dengan dasar hukum yang sejelas itu, tidak ada alasan bagi aparat pemerintah untuk diam.
“Kalau perda sudah ada tapi pelanggaran dibiarkan, maka yang rusak bukan masyarakatnya, tapi sistem hukumnya,” ucapnya.
KEMASIN mendesak Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk segera melakukan tindakan nyata dan terukur, antara lain:
- Menertibkan seluruh bangunan liar dan warung remang-remang di sepanjang Jalan Inspeksi Kalimalang.
- Melakukan audit kinerja Satpol PP dan aparatur kecamatan yang lalai menegakkan perda.
- Menjatuhkan sanksi administratif dan hukum kepada pihak yang terbukti melakukan pembiaran.
- Membuka hasil penegakan perda secara transparan kepada publik.
“Kami akan kawal ini sampai tuntas. Kalau Pemkab Bekasi tetap diam, kami akan bawa persoalan ini ke DPRD dan bahkan ke tingkat Provinsi Jawa Barat,” tegas Rey.
KEMASIN menilai fenomena ini bukan hanya masalah sosial, tetapi indikasi kegagalan tata kelola pemerintahan daerah.
Praktik asusila di ruang publik menandakan degradasi nilai hukum dan moral, sekaligus pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
“Pemerintah yang membiarkan pelanggaran berarti turut menjadi bagian dari pelanggaran itu sendiri,” tutup Sopian dengan nada keras.
“Hukum harus ditegakkan tanpa kompromi, karena negara tidak boleh kalah dari praktik amoral.”
[RED]