BEKASI, 10 September 2025 – RESKRIMPOLDA.NEWS
Pimpinan Redaksi RESKRIMPOLDA.NEWS, Jimmy Hasan, melakukan wawancara khusus dengan Kepala TPA Burangkeng Dinas Lingkungan Hidup (DLH), bapak Samsuro Mandiansyah, S.IP Dalam keterangannya, ia mengatakan tantangan yang dihadapi, serta langkah-langkah konkret yang telah dan sedang dijalankan dalam penanganan persoalan sampah, khususnya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng.
Peran dan Keterbatasan DLH
Menurutnya, pembangunan infrastruktur seperti Instalasi Pengolahan Air (IPA), hanggar, hingga kolam lindi sepenuhnya ditangani oleh Dinas Cipta Karya dan instansi teknis lainnya. DLH hanya berperan sebagai pengguna hasil proyek setelah selesai dibangun.
“Kami bukan pengelola anggaran ataupun pelaksana konstruksi. Begitu fasilitas selesai dibangun, barulah DLH menggunakan dan mengoperasikan hasilnya. Semua pendanaan dikelola oleh beberapa instansi terkait,” ujarnya.
Sorotan Nasional: Air Lindi
Isu yang kini menjadi perhatian besar adalah masalah air lindi. Pihak DLH telah mengalokasikan anggaran serta berupaya melakukan pembangunan sarana pengendalian.
Ia menyebut, pada tahun ini tercatat ada dana sekitar Rp105 miliar yang digunakan untuk pembangunan, termasuk pembebasan lahan. Meski begitu, beberapa proyek penunjang masih berada di luar kewenangan DLH.
Harapan bagi Masyarakat dan Perubahan Pola Pengelolaan
Petugas tersebut mengimbau agar masyarakat memahami kondisi TPA Burangkeng yang kini sudah melebihi kapasitas.
Ia menegaskan, solusi utama bukan hanya memperluas lahan, melainkan perubahan pola pengelolaan sampah sejak dari rumah tangga.
“Kami berharap warga lebih proaktif memilah sampah organik dan nonorganik dari rumah. Jangan semua langsung dibuang ke TPA. DLH sudah berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti PT Pajar Paper untuk karton dan PT Mulia Glass untuk limbah kaca. Sistem bank sampah juga sudah berjalan di lebih dari 400 titik di Kabupaten Bekasi,” jelasnya.
Bank Sampah dan Nilai Ekonomi Limbah
Kolaborasi dengan industri daur ulang memberi peluang nilai tambah bagi masyarakat. Karton dari bank sampah, meski hanya satu bak truk, tetap dihargai setara dengan volume besar oleh perusahaan mitra.
Selain itu, terdapat program pengumpulan limbah kaca (“bling-bling”) dari perumahan yang diarahkan ke industri daur ulang.
“Ini menjadi insentif bagi bank sampah, hasil penjualan kembali ke masyarakat. Dengan sistem hulu ke hilir seperti ini, sampah bisa bernilai ekonomi, bukan sekadar beban,” tambahnya.
Penggunaan Maggot untuk Limbah Organik
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa maggot (larva lalat Black Soldier Fly) mulai dimanfaatkan untuk mengolah limbah sisa makanan. Proses ini mampu mengurangi tonase sampah organik secara signifikan sekaligus menghasilkan produk bernilai jual tinggi.
“Maggot dapat menghabiskan ton sampah organik setiap hari. Bahkan bisa dijual hingga Rp20 ribu per kilogram sebagai pakan ternak. Kami sudah lihat praktik ini di sejumlah lokasi, termasuk milik peternak besar,” ungkapnya.
Kendala Besar: Plastik
Namun demikian, kendala terbesar tetap pada limbah plastik yang belum menemukan mitra pengelolaan strategis. Berbeda dengan karton atau kaca, plastik sering kali tercecer di jalanan karena masyarakat masih cenderung praktis dan enggan memilah.
Ia mendorong adanya kolaborasi RT/RW untuk mendata dan mengelola volume sampah rumah tangga, sehingga yang masuk ke TPA hanyalah residu.
Upaya Teknis: Penataan, Pengurugan, dan Antisipasi
Dalam aspek teknis, DLH juga tengah melakukan upaya penataan dengan standar Kementerian PUPR, termasuk pengurugan, pemasangan pipa (pralon) untuk mengendalikan gas, dan penutupan sampah dengan tanah merah.
Langkah ini bertujuan mencegah sampah berterbangan saat kemarau maupun kebakaran akibat puntung rokok atau panas ekstrem.
Selain itu, penghijauan di sekitar TPA juga sedang digalakkan untuk rehabilitasi ekosistem. Saat ini progres pembangunan diklaim sudah mencapai 50%, dengan target selesai pada Desember mendatang.
Ajakan kepada Masyarakat
Di akhir pernyataannya, ia menekankan bahwa persoalan sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat dan para aktivis linkungan.
“Memang ada beberapa kendala di lapangan dan sangat menerima masukan dari aktivis-aktivis lingkungan yang sering datang melakukan pengecekan tetapi hal tersebut tidak serta merta bisa diatasi karena disebabkan DLH apalagi TPA Burangkeng memiliki keterbatasan dana. Adapun hal-hal yang sifatnya proyek ditangani oleh Departemen-departemen lain di luar DLH sendiri. Jadi mohon agar masyarakat dan aktivis lingkungan bisa memahami kedudukan TPA Bantar Gebang yang tidak serta-merta berdiri sendiri, karena anggaran berada di luar DLH.” pungkasnya.
[REDAKSI]