Kabupaten Bekasi, 2 September 2025 – RESKRIMPOLDA.NEWS
Situasi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, semakin menuai sorotan tajam dari kalangan pegiat lingkungan. Kondisi pengelolaan sampah di kawasan tersebut dinilai masih jauh dari standar ideal, bahkan berpotensi menimbulkan ancaman serius terhadap ekosistem maupun kesehatan masyarakat sekitar.
Sopian, selaku aktivis Koalisi Kawali Indonesia Lestari (KAWALI) DPD Bekasi, mengungkapkan bahwa pihaknya sangat prihatin dengan lemahnya tata kelola TPA Burangkeng. Menurutnya, pengelolaan air lindi yang seharusnya diproses secara profesional justru masih dilakukan dengan cara yang tidak transparan dan tidak sesuai prosedur.
“Realitas di lapangan menunjukkan adanya kelalaian institusi pemerintahan, baik dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) maupun Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH), termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, yang tidak sigap dalam menjalankan kewajiban kebijakannya,” ujar Sopian.
Di lokasi TPA memang terdapat papan pengumuman dari KLH/BPLH yang menyatakan bahwa kawasan tersebut sedang dalam pengawasan. Namun, hal itu tidak disertai tindak lanjut nyata sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hingga saat ini, belum terlihat adanya realisasi konkret dari sisi perencanaan tata ruang maupun pembangunan fasilitas pendukung di kawasan TPA tersebut. Dugaan lemahnya pengawasan tata ruang dan kelemahan manajemen lingkungan kian memperparah kondisi.
Lebih lanjut, sorotan publik juga mengarah kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Syafri Donni Sirait, yang disebut-sebut terlibat dalam dugaan kasus pencemaran serta perusakan lingkungan hidup. Sayangnya, perkembangan kasus ini hingga kini belum jelas kelanjutannya di ranah hukum.
Masyarakat juga menyoroti indikasi pembuangan air lindi langsung ke aliran sungai tanpa melalui instalasi pengolahan. Praktik tersebut jelas bertentangan dengan amanat UUD 1945, serta aturan hukum yang berlaku, yaitu UU No.18 Tahun 2008 dan UU No.32 Tahun 2009.
Bu Sari selaku warga yang sering melintas, mengeluhkan bahwa ia terganggu dengan air lindi yang
Sopian menegaskan bahwa masyarakat Bekasi tetap menghargai upaya pengawasan yang dilakukan oleh KLH/BPLH maupun Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, ia mendesak agar seluruh pihak terkait segera mengambil langkah nyata. “Kami menuntut adanya penanganan transparan, akuntabel, dan sesuai peraturan perundang-undangan. Pemerintah wajib memberikan informasi yang jelas kepada publik agar tidak menimbulkan krisis kepercayaan,” tegasnya.
Aktivis lingkungan tersebut juga mengingatkan agar pemerintah tidak membiarkan masyarakat Bekasi kehilangan keyakinan terhadap sistem hukum yang sudah ada. Penegakan hukum lingkungan, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2009, harus diterapkan demi menjamin keberlangsungan lingkungan hidup yang sehat dan layak bagi generasi mendatang.
[REDAKSI]