BENGKULU, 22 Juni 2025 – RESKRIMPOLDA.NEWS
Sejak Maret 2025, Pulau Enggano, yang berjarak sekitar 150 mil laut dari pesisir Kota Bengkulu, mengalami isolasi total akibat terganggunya akses transportasi laut. Alur pelayaran di Pelabuhan Pulau Baai, sebagai jalur utama distribusi ke pulau tersebut, mengalami pendangkalan parah yang menghambat aktivitas kapal penumpang dan kapal barang.
Kondisi ini telah berlangsung lebih dari empat bulan, dan berdampak langsung terhadap sekitar 4.000 jiwa penduduk yang mendiami pulau terpencil di Samudera Hindia tersebut.
KONDISI DARURAT: KESEHATAN, LOGISTIK, DAN PEREKONOMIAN SEMAKIN MEMBURUK
Ketidakhadiran moda transportasi laut telah menyebabkan sejumlah masalah krusial. Pasokan kebutuhan pokok tersendat, akses layanan kesehatan terhambat, dan hasil panen petani lokal membusuk karena tidak dapat dikirim ke daratan utama.
“Warga dengan kondisi medis gawat darurat pun tidak bisa dirujuk. Sementara, komoditas seperti pisang, pinang, kelapa, ikan, hingga kakao teronggok sia-sia, membusuk di tempat penyimpanan maupun kebun,” ungkap salah satu tokoh adat Enggano.
Sektor ekonomi masyarakat—khususnya petani dan nelayan—mengalami kelumpuhan. Mereka tidak memiliki sarana pengangkutan hasil bumi, dan upaya mandiri untuk menyewa kapal nelayan ke Bengkulu membutuhkan biaya hingga Rp20 juta, yang tidak semua warga mampu tanggung.
PEMERINTAH DINILAI LAMBAN DAN TIDAK RESPONSIF
Sejak awal krisis, warga Enggano telah meminta agar disediakan kapal alternatif untuk distribusi logistik dan penumpang. Namun hingga kini, permintaan tersebut tidak digubris secara konkret oleh otoritas terkait. Pemerintah Provinsi Bengkulu disebut hanya menunggu selesainya pengerukan alur pelabuhan, tanpa menyediakan solusi sementara.
Baru pada pekan pertama Juni 2025, kapal KMP Pulo Tello dapat menyeberang ke Enggano. Namun karena fasilitas sandar belum memadai, proses bongkar muat terpaksa dilakukan di tengah laut dengan bantuan kapal milik Basarnas.
“Solusi itu pun hanya bisa memindahkan penumpang. Tidak ada kapal logistik khusus untuk mengangkut hasil bumi. Sementara komoditas lokal terus rusak karena menunggu tak kunjung dijemput,” ujar seorang perwakilan masyarakat adat.
DAMPAK YANG DITIMBULKAN HINGGA JUNI 2025:
- Transportasi laut umum terhenti total sejak Maret 2025
- Warga sakit terisolasi, kesulitan rujukan medis
- Pasokan bahan pangan dan obat-obatan menurun drastis
- Petani dan nelayan tidak dapat menjual hasil panen
- Ratusan juta rupiah nilai kerugian akibat hasil bumi membusuk
- Akses hanya dibuka untuk penumpang, logistik masih terhambat
TUNTUTAN WARGA: AKSI NYATA, BUKAN SEKEDAR JANJI
Masyarakat Enggano mendesak intervensi langsung pemerintah pusat melalui penyediaan kapal distribusi darurat, mengingat status Pulau Enggano sebagai wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Mereka menilai, solusi alternatif bisa dilakukan sementara menunggu pengerukan alur pelabuhan rampung.
“Jangan biarkan kami hidup seperti tahanan di negeri sendiri. Kami butuh kapal, bukan simpati,” ujar seorang tokoh pemuda di Pulau Enggano.
[RED]