Jakarta | Reskrimpolda.news
Di tengah meningkatnya penggunaan sistem pembayaran digital berbasis QR code di Indonesia, sorotan tajam datang dari Amerika Serikat. Negeri Paman Sam menilai kebijakan Indonesia terkait QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dapat menghambat akses perusahaan asing dalam sektor keuangan digital nasional.
AS menganggap langkah Indonesia dalam memperkuat kontrol domestik terhadap sistem transaksi elektronik ini sebagai bentuk proteksionisme digital, yang dinilai tidak sejalan dengan asas perdagangan bebas internasional. Kebijakan tersebut kini menjadi salah satu poin ketegangan dalam diplomasi ekonomi antara Jakarta dan Washington.
Namun siapa sebenarnya di balik lahirnya teknologi QR yang kini menjadi tulang punggung transaksi non-tunai Indonesia?
Masahiro Hara: Otak di Balik Teknologi QR yang Mendunia
Banyak yang keliru mengira bahwa teknologi QRIS adalah inovasi asli Indonesia. Faktanya, sistem ini dibangun di atas fondasi QR code, sebuah penemuan revolusioner karya Masahiro Hara, seorang insinyur asal Jepang. Lahir pada 8 Agustus 1957 di Tokyo, Hara merupakan alumni Universitas Hosei, di mana ia mendalami bidang teknik listrik dan elektronika.
Setelah lulus pada tahun 1980, Hara bergabung dengan Denso Wave, perusahaan teknologi otomotif yang merupakan anak usaha dari Toyota Group. Di sanalah ia mengembangkan kemampuan di bidang sistem pemindaian dan pengenalan karakter optik, serta mengamati keterbatasan barcode satu dimensi yang kala itu digunakan luas di industri manufaktur.
Kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi, kecepatan, dan kapasitas penyimpanan data mendorong Hara dan tim kecilnya untuk mengembangkan sistem kode yang lebih adaptif dan canggih. Setelah lebih dari satu tahun riset intensif, mereka melahirkan QR code—sistem kode matriks dua dimensi yang dapat menyimpan informasi dalam jumlah besar dan dibaca dari berbagai arah dengan kecepatan tinggi.
QR Code Bertransformasi dari Industri ke Kehidupan Publik
Meski awalnya diciptakan untuk mendukung kebutuhan rantai pasok industri otomotif, QR code dengan cepat diadopsi secara luas di berbagai sektor, termasuk logistik, pemasaran, layanan konsumen, dan sistem pembayaran. Sertifikasi internasional (ISO) yang diperoleh pada tahun 2000 mendorong penyebarannya secara global.
Di Indonesia, teknologi ini mengalami evolusi besar melalui penerapan QRIS, standar nasional sistem pembayaran berbasis QR yang mengintegrasikan berbagai metode pembayaran digital ke dalam satu kanal terpadu. Konsumen kini cukup menggunakan satu kode QR universal untuk bertransaksi lintas penyedia layanan keuangan, baik bank maupun non-bank.
Kedaulatan Digital VS Kepentingan Global
Namun di balik kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan QRIS, muncul dinamika geopolitik. Pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia dan Kementerian Kominfo berupaya membangun kedaulatan digital dan mendorong inklusi keuangan. Langkah ini memicu reaksi dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, yang khawatir dominasi perusahaan mereka di pasar digital Indonesia mulai tergerus.
Washington menilai kebijakan QRIS dan GPN sebagai bentuk pembatasan tidak adil terhadap pemain asing, dan hal ini masuk dalam radar pengawasan hubungan dagang bilateral.
Meski demikian, penguatan sistem transaksi nasional merupakan bagian dari strategi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap platform asing dan memperkuat kontrol terhadap aliran data dan dana domestik.
[red]