Payakumbuh, 17 September 2025 – RESKRIMPOLDA.NEWS
Polemik mencuat di Kota Payakumbuh setelah Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Dewi Novita, yang akrab dijuluki “Dewi Centong (DC)”, diduga melakukan tindakan yang dianggap menghina profesi wartawan sekaligus menghalangi kerja jurnalistik.
Kasus ini berawal dari unggahan dua video singkat di akun Instagram @dewi.centong, pada Kamis dan Jumat (11–12 September 2025). Video berdurasi masing-masing 52 detik dan 56 detik itu menampilkan Dewi dengan seragam resmi Satpol PP, lengkap dengan atribut bertuliskan “Pol-PP” dan “Dewi” di bagian depan.
Dalam video yang kemudian beredar luas dan ditonton lebih dari 1.000 kali, Dewi merekam dirinya sendiri sembari melontarkan pernyataan yang dianggap merendahkan profesi wartawan.
Pada rekaman pertama, Dewi terdengar menyampaikan:
“Hey, oknum wartawan yang bikin resah, harusnya lu pake otak, jangan sembarang bikin berita ajah!”
Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan dengan nada sinis:
“Ngerti nggak sih lo, jadi orang jangan bodoh!”
Kemudian dalam video kedua, Dewi menambahkan komentar yang juga bernada menyerang:
“Ada beberapa oknum wartawan yang sukak bikin judul berita biar supaya menghebohkan. Oknum wartawan itu ngerti nggak sih mana yang dipalak (judul berita)?”
Pernyataan ini muncul setelah akun Instagram miliknya menyoroti sebuah artikel dari Atensinews.co berjudul “Walikota Payakumbuh Diduga ‘Palak’ ASN untuk Bangun Lapak”.
Padahal, dalam pemberitaan tersebut, istilah “palak” ditulis menggunakan tanda kutip sebagai bentuk kehati-hatian sesuai asas praduga tak bersalah. Namun, Dewi justru menafsirkan diksi tersebut seolah sebagai bentuk intervensi negatif terhadap kebijakan Pemerintah Daerah Payakumbuh.
Tindakan Dewi ini memantik kritik keras karena dinilai tidak sejalan dengan prinsip keterbukaan informasi publik serta dianggap sebagai bentuk arogansi pejabat publik yang digaji dengan uang rakyat.
Lebih jauh, sikap yang ditunjukkan Dewi berpotensi melanggar prinsip dasar kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
Sebagai pejabat negara, Dewi semestinya memahami bahwa kritik terhadap kepala daerah maupun aparatur pemerintah adalah hal wajar dalam sistem demokrasi. Media massa memiliki fungsi kontrol sosial yang diakui oleh undang-undang, termasuk dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pernyataan Dewi di media sosial dinilai mencederai etika publik sekaligus berpotensi mencoreng citra lembaga Satpol PP Payakumbuh.
Kini, publik menanti langkah dari Walikota, Wakil Walikota, serta Sekretaris Daerah Payakumbuh sebagai atasan langsung Dewi, apakah akan memberikan teguran, sanksi, atau klarifikasi resmi terkait sikap kontroversial pejabat yang dijuluki “Dewi Centong” tersebut.
[RED]