YOGYAKARTA, 1 Agustus 2025 – RESKRIMPOLDA.NEWS
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap fakta mencengangkan terkait praktik pertambangan liar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hingga Juli 2025, sedikitnya 12 titik aktivitas tambang ilegal berskala besar teridentifikasi beroperasi tanpa izin resmi di berbagai wilayah DIY.
Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah III KPK, Ely Kusumastuti, dalam rapat koordinasi lintas sektor yang berlangsung di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, pada Rabu (30 Juli 2025).
“Satu lokasi tambang bisa menampung puluhan hingga ratusan unit kegiatan ekstraksi. Bukan hanya dikerjakan oleh warga lokal, tapi sudah melibatkan operator skala besar dengan peralatan berat yang menimbulkan risiko serius terhadap keselamatan lingkungan,” ujar Ely.
Menurut Ely, penambangan ilegal yang dilakukan tanpa tata kelola berkelanjutan telah menimbulkan kerusakan ekologis, keretakan infrastruktur wilayah, dan gangguan kesehatan masyarakat, terutama di kawasan padat penduduk dan daerah rawan bencana.
KPK menegaskan komitmennya untuk mendampingi pemerintah daerah dalam memperbaiki sistem pengelolaan tambang, khususnya untuk menata ulang zona tambang rakyat agar kegiatan pertambangan dapat berlangsung secara legal dan bertanggung jawab.
“Dengan dikeluarkannya izin resmi, maka akan ada retribusi masuk ke kas daerah (PAD). Ini bisa dimanfaatkan untuk membangun jalan, fasilitas umum, dan infrastruktur lainnya,” terang Ely.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, secara tegas menyatakan bahwa praktik pertambangan diperbolehkan sepanjang dilakukan dengan perizinan yang sah, dan melibatkan masyarakat kecil sebagai pelaku utama, bukan pengusaha besar yang mendominasi sumber daya.
“Saya berharap tidak ada lagi aktivitas ilegal. Pemerintah daerah harus menentukan batas-batas lokasi tambang rakyat, kemudian dibagi dalam kaveling agar bisa dikelola secara adil dan legal,” kata Sultan dalam pernyataan resminya.
Beliau juga menyinggung model distribusi tambang pasca letusan Merapi tahun 2010, di mana masyarakat terdampak diberi kesempatan menggali pasir secara bergilir, tanpa campur tangan korporasi besar.
“Saat itu tidak ada perusahaan besar yang bermain. Semua diberikan kepada warga agar bisa meningkatkan penghasilan mereka. Itulah yang ingin saya wujudkan kembali,” tambah Sultan.
Gubernur DIY menegaskan bahwa tambang rakyat harus dimaknai sebagai jalan keluar dari kemiskinan, bukan sebagai ladang keuntungan sepihak bagi kelompok bermodal besar.
“Pengusaha besar sudah punya banyak cara untuk menghasilkan uang. Tapi ruang tambang rakyat adalah untuk masyarakat kecil yang perlu penghidupan,” tegas Sultan.
[RED]