JAKARTA, 27 JUNI 2025 – RESKRIMPOLDA.NEWS
Pemerintah Republik Indonesia kembali memberlakukan kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada tahun 2025 sebagai strategi untuk menekan angka konsumsi produk berbasis nikotin dan tembakau, sekaligus mengurangi dampak buruk terhadap kesehatan publik. Kebijakan fiskal ini merupakan bagian dari program nasional pengendalian tembakau yang telah berlangsung bertahap sejak beberapa tahun terakhir.
Namun, alih-alih menurunkan tingkat konsumsi, kebijakan tersebut justru menciptakan efek samping yang meresahkan, yakni meningkatnya peredaran rokok ilegal tanpa pita cukai resmi yang kini semakin masif membanjiri pasar domestik. Keberadaan rokok tanpa izin edar ini bukan hanya mengganggu tatanan industri, tetapi juga menghambat upaya penegakan hukum dan berdampak signifikan terhadap penerimaan negara.
Lonjakan Harga Picu Peralihan ke Produk Ilegal
Dengan pemberlakuan tarif cukai yang lebih tinggi, harga eceran rokok legal di pasar mengalami peningkatan tajam. Pemerintah semula berharap langkah ini akan mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi rokok karena terbentur harga. Namun di sisi lain, konsumen yang keberatan dengan harga tinggi cenderung beralih ke rokok ilegal yang dijual jauh lebih murah dan bebas dari pengawasan standar mutu serta kesehatan.
“Kenaikan cukai ini sebenarnya ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Tapi pada praktiknya, pasar justru dibanjiri oleh rokok ilegal yang tak terkontrol,” ujar salah satu pejabat Bea Cukai yang enggan disebut namanya.
Fenomena ini juga menciptakan tantangan serius bagi aparat penegak hukum dan petugas pengawasan Bea Cukai di lapangan. Distribusi rokok ilegal yang kian luas dan terselubung menjadikan proses penindakan semakin kompleks, apalagi banyak dilakukan melalui jalur distribusi informal dan jaringan sindikat.
Industri Rokok Legal Terjepit, Pendapatan Negara Terancam
Pihak pelaku industri rokok legal, terutama produsen skala kecil dan menengah, kini tertekan berat menghadapi beban cukai yang semakin besar. Banyak perusahaan lokal kesulitan untuk menyesuaikan harga jual mereka agar tetap kompetitif di tengah serbuan produk ilegal yang dijual jauh di bawah harga pasar wajar.
Kondisi ini berpotensi menyebabkan penurunan produksi, pemutusan hubungan kerja, bahkan tutupnya beberapa pabrik rokok lokal, terutama di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Sumatera yang menjadi basis utama industri hasil tembakau nasional.
Lebih jauh, situasi ini dapat memicu turunnya kontribusi sektor cukai terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, selama ini penerimaan cukai hasil tembakau menjadi salah satu komponen vital dalam struktur pendanaan negara, termasuk untuk sektor kesehatan dan pendidikan.
[RED]