TIMUR TENGAH, 12 Juni 2025 – RESKRIMPOLDA.NEWS
Harga minyak global mengalami lonjakan signifikan setelah serangan militer yang dilancarkan oleh Israel terhadap wilayah Iran, memicu kekhawatiran serius akan stabilitas geopolitik dan ketahanan pasokan energi di kawasan Teluk Persia.
Menurut laporan terbaru dari BBC, Sabtu (14/6/2025), harga minyak mentah jenis Brent meningkat lebih dari 10 persen, menyentuh level tertinggi sejak awal Januari 2025, sebelum akhirnya mengalami koreksi dan melepas sebagian keuntungan tersebut. Lonjakan ini terjadi akibat kecemasan para pelaku pasar terhadap potensi gangguan distribusi minyak dari wilayah yang merupakan salah satu pusat produksi dan ekspor energi utama dunia.
Kondisi tersebut berdampak luas, mengingat harga minyak mentah merupakan komponen utama dalam penentuan harga berbagai kebutuhan, mulai dari biaya bahan bakar kendaraan hingga harga pokok konsumsi rumah tangga seperti bahan makanan dan logistik distribusi.
Meski sempat menurun setelah peningkatan awal, harga Brent tetap tercatat 5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan perdagangan hari Kamis, yakni berada di kisaran USD 70,60 per barel. Pergerakan pasar ini menunjukkan volatilitas tinggi akibat ketidakpastian geopolitik yang meningkat.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, harga minyak saat ini masih lebih rendah sekitar 10 persen. Sebagai catatan, lonjakan harga minyak terbesar dalam dua tahun terakhir terjadi pada awal 2022, ketika invasi Rusia ke Ukraina memicu kekacauan global di sektor energi, dengan harga minyak mentah melambung melampaui USD 100 per barel.
Para analis memperkirakan, eskalasi konflik antara Iran dan Israel dapat memperparah gangguan terhadap jalur distribusi energi, khususnya melalui Selat Hormuz, yang merupakan rute krusial pengiriman minyak dunia. Jika ketegangan terus meningkat, tidak menutup kemungkinan harga energi akan kembali melonjak dalam waktu dekat.
“Pasar sedang berada dalam fase sensitif. Setiap perkembangan kecil di kawasan dapat menciptakan guncangan besar pada harga minyak,” ujar analis energi senior dari London Energy Market Watch.
Dalam situasi ini, negara-negara pengimpor minyak termasuk Indonesia dihimbau untuk melakukan langkah antisipatif, baik melalui kebijakan stabilisasi harga domestik maupun penguatan cadangan energi nasional guna mengurangi dampak terhadap konsumen.
[RED]